Yusuf Islam Menemukan Islam Setelah Pencarian Panjang
SUMBER: Repiblika Online“Aku tahu betapa menakjubkan Islam dan betapa ia telah memengaruhi kehidupan dan mencerahkan diriku.” (Yusuf Islam)
Yusuf Islam (Cat Stevens) adalah mantan superstar rock dunia yang mengundurkan diri dari dunia musik untuk mempelajari Islam, dan kini aktif berdakwah melalui kegiatan pendidikan dan soisal.
Yusuf Islam terlahir dengan nama Stephen Demetre Georgiou, 21 Juli 1948, di London sebagai non Muslim (Nasrani).
“Aku dilahirkan di London, jantung dunia Barat. Aku dilahirkan di era televisi dan angkasa luar. Aku dilahirkan di era teknologi mencapai puncaknya di negara yang terkenal dengan peradabannya, negara Inggris. Aku tumbuh dalam masyarakat tersebut dan aku belajar di sekolah Katholik yang mengajarkanku tentang agama Nashrani sebagai jalan hidup dan kepercayaan. Dari sini pula aku mengetahui apa yang harus kuketahui tentang Allah, al-Masih `Alaihis-salaam dan taqdir, yang baik maupun yang buruk,” paparnya.
Ia mendapatakan banyak pengetahuan tentang Tuhan dan doktrin Trinitas di sekolahan katolik tersebut sejak dini. Konsep ketuhanan yang masih menyisakan petanyaan dan keraguan bagianya.
Besar dalam keluarga dan lingkungan Nasrani yang berpandangan materialis, secara otomatis, ia pun tumbuh seperti mereka.
“Kehidupan di sekelilingku adalah kehidupan materi. Paham materialis gencar diserukan dari berbagai media informasi. Mereka mengajarkan, kekayaan adalah kekayaan harta benda yang sesungguhnya, dan kefakiran adalah ketiadaan harta benda secara hakiki. Amerika adalah contoh negara kaya dan negara-negara dunia ketiga adalah contoh kemiskinan, kelaparan, kebodohan, dan kepapaan. Karena itu, aku harus memilih dan meniti jalan kekayaan, supaya aku bisa hidup bahagia; supaya aku dapat kenikmatan hidup. Karena itu, aku membangun falsafah hidup bahwa dunia tidaklah ada kaitannya dengan agama. Falsafah inilah yang aku jalani, agar aku mendapatkan kebahagiaan jiwa,” akunya.
Saat menginjak usia dewasa, muncul kekagumannya pada para artis yang ia sering saksikan lewat berbagai media massa hingga mengganggap mereka sebagai dewa tertinggi. Ia pun bertekad mengikuti pengalaman mereka. Dan benar, ternyata ia menjadi salah seorang bintang pop terkenal yang terpampang di berbagai media massa.
“Lalu, aku mulai melihat kepada sarana untuk meraih kesuksesan. Dan, cara yang paling mudah adalah dengan membeli gitar, mengarang lagu, dan menyanyikannya sendiri. Aku lalu tampil di hadapan mereka. Inilah yang benar-benar aku lakukan dengan membawa nama “Cat Stevens”. Dan tidak berapa lama, yakni ketika aku berusia 18 tahun, aku telah menyelesaikan rekaman dalam delapan kaset. Setelah itu banyak sekali tawaran. Dan aku pun bisa mengumpulkan uang yang banyak. Di samping itu, pamorku pun mencapai puncak,” imbunya.
Pada saat itu, ia merasa bahwa dirinya lebih besar dari alam ini dan seolah-olah usianya lebih panjang daripada kehidupan dunia dan seolah-olah ialah orang pertama yang dapat merasakan kehidupan seperti itu.
Namun pada suatu ketika ia jatuh sakit dan terpaksa di-opname di rumah sakit. Pada saat itulah ia mengakui mempunyai kesempatan untuk merenung, hingga ia temukan bahwa dirinya hanyalah sepotong jasad dan apa yang selama ini ia lakukan hanyalah untuk memenuhi kebutuhan jasad.
Ia menilai bahwa sakit yang ia derita merupakan cobaan Tuhan dan kesempatan untuk membuka matanya. Mengapa ia berada disini? Apa yang ia lakukan dalam kehidupan ini?
Sejak saat itulah pengembaraan dan pencarian akan kebenaran ia jalani. Keyakinan yang selama ini ia pegang ia anggap belum mampu membasuh dahaga spiritualnya.
“Aku memiliki iman kepada Allah. Tetapi, gereja belum mengenalkanku siapakah Tuhan itu dan aku tak mampu sampai pada hakikat Tuhan sebagaimana yang dibicarakan gereja! Pikiranku buntu. Maka, aku memulai berpikir tentang jalan hidup yang baru. Aku memiliki buku-buku tentang akidah dan masalah ketimuran. Aku mencari tentang Islam dan hakikatnya. Dan seperti ada perasaan, aku harus menuju pada titik tujuan tertentu, tetapi aku tidak tahu keberadaan dan pengertiannya,” tuturnya.
Beberapa ajaran Timur ia pelajari dan coba mendalaminya. Demi dahaganya ini juga yang membawanya pada ajaran klenik Timur.
“Aku tidak puas berpangku tangan, duduk dengan pikiran kosong. Aku mulai berpikir dan mencari kebahagiaan yang tidak kudapatkan dalam kekayaan, ketenaran, puncak karir maupun di gereja. Maka aku mulai mengetuk pintu Budha dan falsafah China. Aku pun mempelajarinya. Aku mengira, kebahagiaan adalah dengan mencari berita apa yang akan terjadi di hari esok, sehingga kita bisa menghindari keburukannya. Aku berubah menjadi penganut paham Qadariyyah. Aku percaya dengan bintang-bintang, mencari berita apa yang akan terjadi. Tetapi, semua itu ternyata keliru,” lanjutnya.
Yusuf bahkan sempat putus asa ketika Kebenaran Tuhan yang ia cari belum juga ia temukan dalam berbagai ajaran dan falsafah yang telah ia dalami. Ia pun sempat menjadi ateis dan kembali kepada obat-obatan penenang.
Dalam keputusasaannya itu, ia merasa bahwa tidak ada keyakinan dan ajaran yang bisa memberikan jawaban kepadanya. Jawaban yang bisa menjelaskan kepadanya hakikat yang sedang ia cari. Ia pun akhirnya kembali kepada keyakinan awalnya yang telah ia pelajari di gereja.
“Dan ketika itu aku belum mengetahui tentang Islam sama sekali. Maka aku tetap pada keyakinanku semula, pada pemahamanku yang pertama, yang aku pelajari dari gereja. Aku menyimpulkan bahwa kepercayaan-kepercayaan yang aku pelajari itu adalah keliru. Dan bahwa gereja sedikit lebih baik daripadanya. Aku kembali lagi kepada gereja. Aku kembali mengarang musik seperti semula. Dan aku merasa Kristen adalah agamaku. Aku berusaha ikhlas demi agamaku. Aku berusaha mengarang lagu-lagu dengan baik. Aku berangkat dari pemikiran Barat yang bergantung pada ajaran-ajaran gereja. Yakni, ajaran yang memberikan inspirasi kepada manusia bahwa dia akan sempurna seperti Tuhan jika ia melakukan pekerjaannya dengan baik serta ia mencintai dan ikhlas terhadap pekerjaannya,” ungkapnya.
Hingga semua berubah ketika hidayah Allah mulai menyapanya dan mebasuh semua dahaganya. Hidayah ini bermula dari ketidaksengajaanya memimiliki dan kemudian mempelajari Alquran.
“Pada tahun 1975 terjadi suatu yang luar biasa, yakni ketika saudara kandungku pergi melawat ke masjidil Aqsha. Ketika kembali, ia menceritakan kepadaku ada suatu keanehan yang ia rasakan di saat melawat masjid tersebut. Ia dapat merasakan adanya kehidupan ruhani dan ketenangan jiwa di dalamnya. Hal ini berbeda dengan gereja, walau dipadati orang banyak namun ia merasakan kehampaan di dalamnya. Ini semua mendorongnya untuk membeli Alquran dan ingin mengetahui bagaimana tanggapanku terhadap Alquran. Mushaf itu masih tetap bersamaku sampai aku mengunjungi al-Quds Palestina,” lanjutnya.
Setelah kunjungan tersebut, Yusuf mulai mempelajari Alquran yang dihadiahkan oleh saudaranya itu. Suatu kitab yang ia tidak mengetahui apa isi di dalamnya, juga tak mengetahui apa yang dibicarakannya. Lalu Yusuf mencari terjemahan Alquran setelah ia mengunjungi al-Quds.
“Pertama kalinya, melalui Alquran aku berpikir tentang apa itu Islam. Sebab, Islam menurut pandangan orang Barat adalah agama yang fanatik dan sektarian. Dan umat Islam itu sama saja. Mereka adalah orang-orang asing, baik Arab maupun Turki. Kedua orangtuaku berdarah Yunani. Dan orang Yunani sangat benci kepada orang Turki Muslim. Karena itu, mestinya aku membenci Alquran yang merupakan agama dan pedoman orang-orang Turki, sebagai dendam warisan. Tetapi, aku memandang, aku harus mempelajarinya (terjemahannya). Tidak ada salahnya aku mengetahui isinya,” akunya.
“Ketika aku membaca Alquran aku mendapati bahwa Alquran mengandung jawaban atas semua persoalanku, yaitu siapa aku ini? Dari mana aku datang? Apa tujuan dari sebuah kehidupan? Aku baca Alquran berulang-ulang dan aku merasa sangat kagum terhadap tujuan dakwah agama ini yang mengajak untuk menggunakan akal sehat, dorongan untuk berakhlak mulia dan aku pun mulai merasakan keagungan Sang Pencipta,” jelasnya.
Semakin kuat perasaan ini muncul dari jiwanya, membuat perasaan bangga terhadap dirinya sendiri semakin kecil dan rasa butuh terhadap Ilah Yang Maha Berkuasa atas segalanya semakin besar di dalam relung jiwanya yang terdalam. Ia pun akhirnya, memutuskan untuk meilih jalan hidayah ini.
Pada Desember 1977, setelah jumatan, Yusuf menemui imam masjid dan resmi mengucapkan dua kalimat syahdat.
“Pada hari Jumat, aku bertekad untuk menyatukan akal dan pikiranku yang baru tersebut dengan segala perbuatanku. Aku harus menentukan tujuan hidup. Lantas aku melangkah menuju masjid London dan mengumumkan keislamanku. Aku mengatakan, `Asyhadu anlaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah‘,” paparnya.
Baru pada 4 Juli 1978, Ia mengubah nama menjadi Yusuf Islam.
“Menurut kalender Hijriah, saya lahir pada 14 ramadhan 1367, persis bulan purnama,” kenang dia. “Saya selalu suka nama Joseph, jadi meilih nama Yusuf. Ada kisah tentang Yusuf dalam Alquran,” lanjutnya.
Ketika awal-awal dia menyatakan Muslim, banyak yang menganggap dia telah gila. Yusf sadar bahwa keputusan menerima Islam bukanlah sesuatu yang ringan dan mudah.
“Ketika itu, aku yakin bahwa Islam yang kupeluk adalah risalah yang berat, bukan suatu pekerjaan yang selesai dengan sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat. Aku telah dilahirkan kembali. Dan aku telah mengetahui ke mana aku berjalan bersama saudara-saudara muslimku yang lainnya. Sebelumnya, aku sama sekali tidak pernah menemui salah seorang dari mereka. Seandainya pun ada seorang muslim yang menemuiku dan mengajakku kepada Islam, tentu aku menolak ajakkannya, karena keadaan umat Islam yang diremehkan dan diolok-olok oleh media informasi Barat. Bahkan, media umat Islam sendiri sering mengolok-olok hakikat Islam. Mereka justru sering mendukung berbagai kedustaan dan kebohongan yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam, padahal mereka ini tidak mampu memperbaiki bangsa mereka sendiri
yang kini telah dihancurkan oleh penyakit-penyakit akhlak, sosial, dan sebagainya,” tuturnya.
yang kini telah dihancurkan oleh penyakit-penyakit akhlak, sosial, dan sebagainya,” tuturnya.
“Aku telah mempelajari Islam dari sumbernya yang utama, yaitu Alquran. Selanjutnya, aku mempelajari sejarah hidup (sirah) Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam. Bagaimana beliau dengan perilaku dan sunnahnya mengajarkan Islam kepada umat Islam. Aku lalu mengetahui kekayaan yang agung dari kehidupan dan sunnah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam. Aku sudah lupa musik.” imbuhnya.
Yusuf pun mencapai puncak ketenangan di saat ia mengetahui bahwa ia dapat bermunajat langsung dengan Rabbnya melalui ibadah shalat. Berbeda dengan agama-agama lain yang harus melalui perantara.
Demikianlah Yusuf Islam si pencari kebenaran sejati yang akhirnya menemukan apa yang dicarinya itu dalam Islam. Setelah masuk Islam ia tidak lantas larut dalam ego spiritualnya; menghabiskan waktu dan hidupnya di tempat ibadah menyembah Allah yang telah menguasai hatinya dengan kecintaan, namun ia melakukan aktivitas sosial dan juga untuk kemaslahatan agama ini. Ia ikut andil di dalam berbagai lembaga dan yayasan Islam yang bergerak di bidang dakwah dan sosial./taq
0 komentar:
Posting Komentar